Rasanya baru kemarin aku
melihatnya tersenyum memandangi segerombolan perempuan yang berebut duduk di baris pertama untuk
menghadiri pengajian di mushalla, dengan kemeja warna hitam, senyum yang begitu
ramah, bisa ku tebak dia memang laki-laki yang baik seperti yang Rani katakan.
Tapi saat ini, aku melihatnya sangat jelas di depan mataku..
***
“mau ku perkenalkan dengan
seseorang?” pertanyaan yang selalu Rani -sahabatku- lontarkan ketika ada
kesempatan mengobrol di perpustakaan.
“males” bisikku singkat saja, dia
pasti sudah mengerti betapa aku bosan ditanyai demikian berulang kali.
“hey, kali ini lelaki yang
berbeda, Ndah” dia balas berbisik pelan
“dari kemarin kamu ngomongnya
gitu terus, bosen ah”
“Ndah, aku serius...” suaranya
terdengar lantang dengan wajah melas yang tak pernah Rani tinggalkan ketika
membujuk seseorang, aku hanya bisa tersenyum menandakan penolakan. “ssstt,
jangan berisik “ seru beberapa mahasiswa di belakang kursi yang kami
berdua tempati. Aku tak kuat menahan tawa saat Rani menundukkan kepalanya
tiba-tiba.
***
Sebuah pagi, aku dipertemukan
dengan beberapa poster promo pengajian untuk remaja-hahaha, aku menyebutnya
demikian- di dinding-dinding kelas, heran saja kenapa pengajian
harus ada iklan seperti ini, gambarnya pun seorang ikhwan yang terlihat begitu
tampan. Jadi wajar jika mushalla akan dipenuhi oleh kaum hawa nantinya, tak
jarang juga banyak laki-laki yang datang hanya untuk mengawasi perempuan-perempuan
mereka di sana, inilah alasannya kenapa sering sekali aku tak menyetujui ajakan
Rani untuk datang. Lebih baik aku dengarkan lewat radio tanpa harus berdesakan
dengan peluh yang seperti menghujani tubuh dari saking sesaknya. Toh, di sana
aku hanya akan berkeluh kesah tak tahan melihat begitu centilnya tangan
sahabat-sahabat perempuanku yang melempar kertas sana-sini, ini seperti ajang
beramai-ramai kembali ke masa dulu dengan surat-menyurat dari pada mendengarkan
pengajian yang sesungguhnya. Di samping
itu aku sangat bersyukur karena ternyata Ayah dan Ibu mengerti kenapa aku malas
sekali menghadiri PRM (Pengajian Remaja Mushalla) ini.
“ malam ini, kita harus datang!”
seru Rani di sampingku
“hah?? Nggak,”
“Indah, penceramahnya orang yang
ku ceritakan kemarin”
“apalagi, pokoknya aku nggak mau”
***
Oh
Tuhan, seusai Adzan isya aku sudah mendengar suara Rani mengobrol dengan Ibu di
teras depan, dia juga bercerita tentang laki-laki itu, aku yakin ibu hanya
manggut-manggut mendengarnya. Pura-pura mendengar seksama padahal sudah bosan
karena ini bukan kali pertama Rani bercerita tentang laki-laki yang ingin dia
jodohkan denganku yang beginilah,
begitulah.
“Rani hanya tak tahan mendengar ocehan teman-teman kampus
tentang Indah, bu....” begitulah sekilas yang ku dengar dari percakapan itu.
Yaah, memang betul mereka , sebagian
orang yang mungkin tak menyukai sikap cuekku berkata aku perempuan sombong jadi
tak ada laki-laki yang suka, padahal sebenarnya aku merasa tak cocok saja
dengan style yang mereka gunakan dalam menjalani hidup ini, kadang mereka
keterlaluan dalam merespon sikap lelaki. everybody has their own way, right??. aku
keluar menemui Rani dan Ibu, melempar senyum tapi Rani dengan cepat menarik
tanganku.
“eh,
mau kemana?”
“ke
mushalla. Mari Bu, Assalamualaikum”
“waalaikumussalam,
hati-hati nak” senyum ibu terlihat begitu lega
Dalam
perjalanan, aku hanya menggerutu Rani menarikku dengan paksa, berkali-kali dia meminta
maaf dan memohon agar aku mau ikut dengannya, dan baiklah kali ini aku turuti..
Di
mushalla, sudah sangat jelas di depan
mata, jemaah yang hadir rata-rata adalah
perempuan, oh Tuhan! Tak terbayangkan sebelumnya aku sedang berdesakan dengan mereka. Ini gila,
berkali-kali aku menghibur diri dengan berkata “tak apalah demi seorang
sahabat” Rani hanya tersenyum begitu bahagia. Berbagai adegan masa lalu telah
dilakukan, melempar surat, saling melirik
dan lain sebagainya hingga mushalla tiba-tiba begitu sepi saat pengisi
pengajian, laki-laki yang Rani ceritakan duduk tepat di depan jemaah dengan
senyum yang begitu ramah, semua perempuan mengarah padanya saat ini, aku juga
memperhatikan tatapan iri laki-laki yang lain. sesaat aku berpikir kali ini
sahabatku tak salah menilai orang.
23:42 pm, jam yang tertera di handphoneku
demikian, ini sudah di luar biasanya. Aku tak bisa lelapkan mata, aku sedang
gelisah, terbebani oleh senyum yang ku tangkap di mushalla tadi, beginikah
seorang perempuan?? Begitu cepat ditaklukkan hanya dengan satu senyuman??
Bahkan ada yang mengatakan lebih sering perempuan yang jatuh hati lebih dulu.
Aku mencemaskan hatiku, dia sedang meronta ingin mencari tahu siapa sebenarnya
laki-laki berkemeja hitam tadi, aarrgh...
***
“nanti malam, Abi mau ke rumahmu” suara Rani di telepon
“ngapain Ran?”
“ditunggu saja” klik! Terputus. Rasanya aku ingin
berteriak, Rani membuatku ingin marah dua kali, pertama karena dia, aku terbebani
senyum itu. Kedua dia sudah membuatku begitu penasaran..
***
Malam
itu, Abi Rani benar-benar datang, beliau tak sendiri. Melainkan ditemani
sepasang suami istri dan laki-laki yang sudah beberapa hari ini sempat
mengganggu konsentrasiku, yah laki-laki yang mengisi pengajian di mushalla
waktu itu. Yang paling mengejutkan lagi, dia dan keluarganya datang untuk
melamarku, subhanallah walhamdulillah..
Awalnya
aku tak percaya, aku seperti dijemput dengan tidak sengaja oleh pangeran
impian. Namanya Anas, Khairunnas. Dia sepupu Rani, herannya aku yang sudah
sangat lama bersahabat dengan Rani tak mengetahui hal tersebut. Setelah ku
tanyakan, ternyata dia sepupu Rani yang tinggal di Medan, sengaja datang ke
sini hanya untuk melihatku, parahnya lagi Rani sudah mengiriminya foto-fotoku
sejak jaman aku masih SMP, benar-benar disengaja!
Malam
itu, saat ibu menanyakan bersediakah aku dilamar oleh lelaki tersebut, sungguh
aku tak bisa berkata tidak, aku tiba-tiba menangis terharu dan memeluk ibu,
betapa Allah selalu memberi kejutan yang begitu indah untuk hambaNya. Sekarang
, resmilah aku menjadi tunangannya.
***
01 juli 2012
Hari
ini kami sekeluarga pergi ke Medan, berkunjung ke rumahnya, aku sudah tak sabar
ingin segera tiba, ingin kemballi melihat senyum yang begitu ramah itu. Selama
ini aku dan dia hanya berkomunikasi dengan sangat kaku di telepon seluler, aku
tak bisa membayangkan mungkin sesampainya di sana aku akan terlihat lebih kaku
lagi. Tentang Rani, dia sudah tiba lebih dulu di sana. Kata Rani ini acara yang
begitu special karena aku dan dia bisa berdampingan sebagai saudara ipar, bukan
sekedar sahabat, aku ingin tertawa mendengar pernyataan Rani ini.
Satu
jam, dua jam, tiga jam kemudian kami hampir tiba...
***
Rasanya baru kemarin aku
melihatnya tersenyum memandangi segerombolan perempuan yang berebut duduk di baris pertama untuk
menghadiri pengajian di mushalla, dengan kemeja warna hitam, senyum yang begitu
ramah, bisa ku tebak dia memang laki-laki yang baik seperti yang Rani katakan.
Tapi saat ini, aku melihatnya
sangat jelas di depan mataku, terbaring
kaku, dikelilingi orang-orang yang begitu mencintainya. Aku menangis,
tangisku dalam hati ini. Ibu memelukku tapi aku merasa sendiri, air mata ini ku
paksa jatuh tapi tak bisa, seperti ada yang sengaja menahan. Allah begitu cepat
ingin kebahagiaanku kembali padaNya..
Ternyata aku datang hanya untuk
menghadiri upacara pemakamannya, aku belum sempat berucap rindu, belum sempat
membuat suasana yang begitu akrab antar kami berdua, belum sempat berkata
betapa bahagia aku menjadi bagian dari cerita hidupnya.
Tadi, saat dia bergegas
menjemputku dan keluargaku di stasiun kereta, dalam perjalanan telah Allah
kehendaki sebuah kecelakaan maut menimpanya, dan tak bisa selamatkan nyawanya,
aku ingin menyesali kenapa harus dia yang bergegas menjemput kami, kenapa tidak
yang lain saja. Allahumma ighfir lahu..