“kamu yang memulainya, kamu yang membuat keadaannya
berubah, kamu yang memunculkan nama-nama” katamu, bukan hanya seperti
meraut-raut telingaku bahkan juga seperti mengupas habis hatiku.
“apa?! Aku…?” kelu. Aku tak mampu untuk sekedar membantah,
ini seperti aku begitu asing bagimu. Aku yang memulainya? Oke, dengan
senang hati aku terima, kamu boleh menganggap aku yang memulai kerusakan ini, kerusakan
yang memang mungkin aku dalangnya. Aku
yang membuat keadaannya berubah? Baik, lantas aku tanya sekarang, apakah
aku salah jika aku harus pertama kali jatuh hati pada seseorang yang begitu
sering menemaniku menikmati hari? Memberi sebentuk perhatian yang entah sekedar
iseng atau apa. Aku manusia, aku jatuh hati pada orang yang membuatku nyaman
hidup di dunia ini. Aku hanya terlalu ceroboh menempatkan perasaanku sendiri. Aku
akui itu salahku. Kamu yang memunculkan nama-nama? Lagi-lagi aku dan
lagi-lagi baiklah aku terima, walau aku lupa kapan sebenarnya julukan itu mulai
ada. Alasan paling kuat kenapa aku harus seperti mencari nama yang cocok
untukmu adalah karena kau melarangku memanggilmu “Gus” seperti orang lain
memanggilmu demikian? Jika kau tak suka kenapa tidak kamu tolak saat itu juga? Mungkin
aku akan berhenti mencarikanmu “nama”. Aku yang salah! Memang aku!
***
Agustus 2012
Bulan Ramadhan, menjelang Idul Fitri saat orang-orang
bahagia menyambut hari yang begitu special, begitu sakral. Berbeda denganku,
aku lebih sering berdiam diri di kamar, memikirkan kenapa semua berantakan
seperti ini. Aku juga kadang tertawa mengingat kesepakatan kita malam itu. Sebuah
kesepakan untuk tutup komunikasi. Hah? Parah sekali..
Kau tahu? Ibuku sering sekali tiba-tiba ke kamar dan
berkata “jika menangis sekencang-kencangnya bisa membuatmu memiliki keinginan
untuk keluar kamar, menangislah, Nak. Ibu tak kan malu atau marah” mendengar itu.
Aku hanya mampu menangis diam-diam.
***
Dear it took so long just to feel alright, aku
bukan hanya merasa kehilangan energi, sakit ataupun terluka yang begitu perih tapi
aku merasa telah mati. Aku mulai ingin menghentikan segala aktifitas nyata atau
maya-ku. Dan ini memang konyol bahkan sangat bodoh, tak heran jika mereka malah
lebih sering memarahiku karena telah bosan melihatku seperti selalu menderita
karena semua ini. Demi mereka aku mulai jadi pembohong! Pembohong bagi diri
sendiri bahkan orang lain, setiap hari aku harus pura-pura baik saja dan tak
terjadi apa-apa, kadang aku berpikir apakah kau merasakan yang sama? Merasakan sakit
yang sedemikian rupa? Pertanyaan ini malah semakin membuatku terlihat konyol
bahkan memalukan sekali. Ini seperti aku mengharapmu kembali. Dan benar,
harapan itu nyata. Suatu siang kau datang bertandang dan bertanya “apakah aku
baik-baik saja?” ini pertanyaan yang begitu polos, kenapa kau masih menanyakannya?
jika kau memang mau mengaku sebagai teman terdekatku seharusnya kau tahu “aku
tak baik-baik saja”. Setelah itu aku merasa kau seperti pengusik, suka
mengganggu tiap keping ketenangan yang dengan susah payah aku kumpulkan setiap
hari. Setelah aku minta untuk berhenti mengusik kau malah bilang kau terusik
dengan tentangku di perangkatmu. Kenapa tak kau hapus saja? Agar aku tak harus
bimbang antara menganggapmu baik atau tidak.
***
Memalukan, sakit, dan benci.
Setelah benar-benar lama, muak sudah aku mendengar
semuanya, tiap berita yang melintas atau hinggap di telinga benar-benar membuatku
ingin hilang dari dunia, kadang aku merasa harus di pihakmu. Tetap positif kau
tak pernah ingin menyakitiku lebih dalam lagi. Tapi kadang aku ingin sekali
benar-benar benci dan menganggapmu musuh. Betapa beruntung kau, aku tak bisa. Aku
malah semakin tersiksa karena perasaan benci yang seperti dibuat-buat dan
selalu kalah oleh perasaanku yang meluap-luap.
Aku hanya tak habis pikir, kemana dirimu saat ini
yang kemarin bersikukuh menganggapku sahabat dan tak bersedia aku anggap
kekasih? Aku sendiri di tengah semua orang yang sedang membincangi kita, aku,
kau dan sahabatku sendiri. kamu bahkan seakan bangga dengan semua ini, membiarkan
mereka mencercaku, menginjakku seperti aku mulai dilahap tanah yang begitu
gersang, keras dan kering. Bahkan mungkin apakah kau tak sedikitpun ingin
membelaku? Yang katamu sahabatmu, orang yang palling banyak mengisi harimu? Kenapa
kau hanya di tempat? Berhentilah mengucap kalimat ini “aku tak bisa berbuat
banyak”. Kau bukan Tuhan wajar tak bisa melakukan banyak hal, aku hanya ingin
kau hentikan mereka, aku lelah sangat, ingin tenang.
Jangan lupakan, kau yang sebenarnya mengajariku
berenang dengan diam-diam hingga di tengah lautan lepas, lantas kenapa kau
memilih menumpang sebuah perahu dan membiarkanku sendiri kembali ke daratan bebas?