Sunday, September 30, 2012

PERMEN, PUISI DAN GUCI



Suatu senja,
Kau mengajakku bertandang ke rumahmu yang mungil
Di sana, serpihan-serpihan puisi menggigil
Kau melukisnya setiap hari
Namun kau kehilangan nyali untuk berlari
Demikian aku...

Senja berikutnya,
Matamu berkaca menatap guci dalam kaca
Sekian tahun kau merawatnya
Hingga guci itu sesak oleh kenangan manis tentang rasa
Namun tanganmu bergetar,
Kau kehilangan kekuatan untuk menyentuhnya
Demikian aku...

Senja terakhir,
Kita membeli permen di pasar yang sama
Bagiku, permen seharga 250 itu istimewa
Setiap gigitannya membuatku terkenang-kenang sepanjang usia
Tidak demikian kau...

Rupanya kau lebih suka guci dalam kaca
Dari pada permen yang katamu sepah tanpa rasa
Belakangan aku tahu, kau lebih beruntung dariku
Kau lupa puisi, kau pecahkan rupa guci
Sedang aku masih di sini, dengan permen tergenggam rapi

Dan, permen itu..
Gulanya melebur di setiap aliran darahku
Maka..
Apakah aku harus kehilangan semua darah di tubuhku,
Saat waktu memaksaku lupa,
Pada segala tentangnya?

*puisi dari Bidadari pendengar dongeng :-)

Siang yang begitu panas, berkali-kali aku meneguk air yang baru saja ku beli. Aku merasa ayah terlalu lama membuatku menunggu hari ini, lelah sekali..
beberapa saat aku merasa menjumpai seseorang yang sepertinya pernah ku lihat, ya! Itu dia si gadis kecil yang kemarin meninggalkan suratnya di depan toko es krim ini, aku girang! setidaknya mungkin dia bersedia melanjutkan isi suratnya dan sedikit hilangkan penatku menunggu ayah terlalu lama. Tunggu dulu, sepertinya berbeda. Dia terlihat begitu kaku, menenteng kantong plastik hitam di tangan kirinya, juga ada seorang perempuan dewasa yang membuntutinya dari belakang.
dia hendak masuk ke toko es krim, namun tiba-tiba menoleh ke arahku, memperhatikanku dengan mata bulatnya yang ternyata masih begitu mempesona, aku baru sadar ada cekungan hitam yang begitu mengganggu di bawah matanya, bisa ku tebak dia baru saja menangis..
dia menghampiriku, tepat berdiri di depanku. Perempuan yang menemaninya sontak kaget saat si gadis kecil menyapa orang yang tak dikenal.
“ini...” seruku dengan senyum manis, lantas dia membalikkan badan, merobek kertas itu dan menghambur ke arah perempuan dewasa tadi yang ternyata adalah ibunya.

“kau menyimpan suratku yang kemarin itu kan?” tanyanya sungguh polos
Aku hanya mengangguk, lantas ia mengulurkan tangannya memberi isyarat untuk ku serahkan kertas yang dia maksud, untung saja aku benar-benar menyimpannya, ku buka tas-ku kemudian ku serahkan kertas kecil dengan tulisan yang begitu tulus itu.
‘dia begitu menyayangi bocah laki-laki yang dia panggil kakak kecil sejak 7 bulan yang lalu, teman bermainnya setiap hari, sebenarnya dia bukan gadis yang sering ditemani sepi, dia memiliki banyak teman entah kenapa hanya bocah laki-laki tadi yang begitu berpengaruh baginya, sekarang ketika kakak kecilnya harus pergi, dia malah menangis. Anakku yang begitu cerdas malah terlihat begitu bodoh, aku tak percaya anak kecil juga mengalami hal ini’ cerita sang ibu sambil sesekali menyeka air mata yang menetes begitu saja, aku terharu.Ternyata benar dugaanku, dia menulis surat itu untuk kakak kecil yang menemaninya membeli es krim beberapa waktu lalu.
Sayang, tak bisa ia lanjutkan surat itu, dilanjutkan pun tak mungkin sempat dibaca oleh kakak kecilnya. Si bocah kecil telah pergi, jauh tak terjamah dan aku sulit bercerita ke mana sebenarnya dia pergi. (hehe, bingung)
Aku bingung harus bagaimana berkomentar tentang kisah ini.  Aku hanya percaya; jatuh cinta, menyayangi, mencintai, dan menyukai tidak hanya dialami oleh kita yang mengaku telah dewasa. Anak kecil pun bisa jatuh cinta, merasa kehilangan dan sakit yang mendalam.
Dia hanya gagal mempertahankan komitmen atau prinsip untuk tak jatuh hati, Selesai

Tuesday, September 18, 2012

Kecil kecil


Jangan berlebihan! Ini hanya tentang betapa bulat bumi yang semakin gagal Ia pikirkan. Juga tentang bolehnya manusia memiliki harapan-harapan walau tak ada yang tahu kapan terkabulkan.

“Absurd! Absurd! Absurd!” kata itu berulang kali keluar dari mulutnya, juga lelehan air mata yang seperti tanpa sengaja mengikuti irama yang mendayu-dayu dari dalam hatinya. Beginilah mungkin seorang perempuan bersenjatakan tangis kala tak kuat menahan perih yang tak pernah berlumurkan darah.

“Aku pantas mati.” Gumamnya lagi. Merasa hari-hari itu sudah sangat takut meninggalkan sejarah. Ia berulang kali meminta angin berhenti berkabar, memaksa hujan tinggalkan saja basah tanpa berair. Percuma! Terlanjur pula! Ia hanya perempuan biasa, penikmat binatang kecil bernama kupu-kupu bermimpi akan pernah memiliki sayap atau bahkan menjelma malaikat. Kenapa begitu? Suatu hari Ia bertanya ‘pernahkah para malaikat atau peri merasakan sakit sedemikian rupa yang ia rasakan?’ pertanyaan yang bodoh memang! pikirnya mereka hanya sibuk terbang kesana-kemari berbagi kebahagiaan, tanpa melukai siapapun tanpa mengorbankan siapapun.

“Tolol! Ini hanya mimpi, mimpi yang aneh. Se-aneh kata mereka. Hentikan sekarang juga menjadi pengkhayal terlalu dalam.” Ia tertidur, kelelahan menarik urat-urat di samping matanya mengeluarkan air mata. Biarkanlah Ia terlelap dan merasakan mimpi yang belum pernah Ia rencanakan.